Setelah Kota Tak Henti Bernyanyi

Pertunjukan teater/Foto: Istimewa

Teater. Kata yang dalam satu waktu dapat bermakna indah dan menakutkan. Indah karena hingar-bingar panggung, perwatakan tokoh yang memukau, susunan alur menghanyutkan dan adegan-adegan syarat emosional. Menakutkan, karena harus menyita banyak waktu, tenaga, pikiran, biaya dan sepinya apresiasi. Indah dan takut dalam teater sudah menjelma menjadi sebab akibat. Konsekuensi logis dari mereka yang memilih jalan sunyi panggung hitam.

Berteater adalah jalan panjang pengorbanan. Berkorban demi lakon, demi capaian keindahan, demi kepaduan tim, demi perkembangan intelektual pribadi maupun kelompok, demi apa saja yang menjadi tujuan dan kesepakatan bersama.

Kompleksnya masalah dari pra pentas sampai pasca pentas adalah tempaan kedewasaan bagi pelaku yang mampu memaknainya, dan momok

bagi sebagian lain yang menggunakan cara pandang pragmatis dalam menyikapinya.

Ketegangan teater tidak hanya terjadi di balik panggung pertunjukan, ketegangan yang sama, bahkan lebih akut meluber sampai bangku penonton. Penonton pertunjukan yang selama ini didominasi oleh pelaku teater sendiri, atau minimal orang yang pernah berteater menghadirkan persoalan tersendiri.

Penonton pertunjukan yang notabenya adalah praktisi membawa dampak plus minus dalam dunia teater. Secara positif kehadiran penonton praktisi ini membawa dampak baik untuk apresiasi pertunjukan. Di sisi lain, praktisi yang secara basic memang paham seluk beluk pertunjukan tak jarang malah memberi masukan-masukan yang terlalu teknis, yang justru kontra produktif, dan tak menjangkau esensi pertunjukan.

Teknis pertunjukan memang sangat penting. Sebaik dan sedalam apa pun pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah pertunjukan bila tidak di ikuti dengan teknis yang baik, maka akan hambar rasanya. Analoginya seperti cerita bagus yang di ceritakan oleh narator dengan kemampuan kurang baik. Justru akan merusak cerita tersebut.

Pertanyaan berikutnya, apakah teknis pemanggungan adalah segala-galanya sehingga menomor duakan pesan pertunjukan dan cerita?

Jawabannya bisa jadi beragam dan sangat subjektif berdasar pola pandang dan referensi masing-masing. Dalam tulisan ini pun tidak akan dikemukakan mana yang lebih baik dari yang lain. Tapi kenyataan kalau penonton teater kita masih mempersoalkan teknis dan mengabaikan isi adalah fenomena yang tak terbantahkan.

Dalam diskusi-diskusi selepas pementasan bila ada 10 penanya maka hampir bisa dipastikan 8 di antarannya akan membahas hal teknis dan selebihnya baru akan bicara esensi pertunjukan. Fenomena ini marak terjadi di berbagai tempat terutama di daerah.

Fenomena semacam ini terjadi pula tadi malam, saat teater Institute Unirow Tuban menggelar pementasan dengan judul “Kota tak henti bernyanyi”. Diskusi yang digelar usai pementasan tak luput dari mempersoalkan teknis panggung belaka. Diskusi yang dihadiri oleh praktisi teater dari beberapa kota tersebut, tak banyak berbeda dari diskusi sejenis yang digelar di berbagai tempat selama ini. Dari sekian banyak penonton yang angkat tangan saat diskusi berlangsung hanya ada satu yang mempersoalkan isi pentas. Mengungkap ke tidak setujuannya pada eksploitasi perempuan yang ditampilkan dalam pertunjukan.

Ke tidak imbangan penonton teater kita dalam mengapresiasi pementasan menjadi salah satu sebab ‘matinya' kritik pertunjukan (kalau diskusi setelah pentas boleh disebut kritik) yang konstruktif dewasa ini. Bukan saja kritik yang dihasilkan akan menjadi tendensius, tapi kualitas kritik juga akan sangat buruk karena tidak melibatkan semua aspek pentas, bahkan melupakan sama sekali bahan baku pertunjukan yakni sastra.

Bambang budiono

Penonton teater


0 Komentar

Type above and press Enter to search.